Profil Eberechi Eze, Pemain Buangan Arsenal yang dimaksud Bawa Crystal Palace Juara Piala FA

Eberechi Eze menulis kisah dongeng sepak bola Inggris yang mana luar biasa. Pada final Piala FA 2024/2025 dalam Stadion Wembley, Hari Sabtu (17/5/2025), gelandang 26 tahun itu menjadi pahlawan kemenangan Crystal Palace menghadapi Manchester City lewat satu-satunya gol yang digunakan menghadirkan klubnya meraih trofi mayor pertama sepanjang sejarah berdiri—selama 164 tahun.
Gol Eze yang tersebut lahir pada menit ke-16 itu tidak sekadar penentu skor, melainkan penanda kemenangan yang tersebut meneguhkan statusnya sebagai ikon baru The Eagles. Berawal dari serangan balik cepat, Jean-Philippe Mateta menahan bola kemudian mengirimnya ke Daniel Munoz, yang kemudian melepas umpan matang terhadap Eze. Tanpa ampun, pemain selama Inggris itu menceploskan bola ke gawang Ederson juga mencetak gol yang mana akan dikenang selamanya.
“Ini sangat spesial. Saya tiada tahu harus berkata apa,” ucap Eze seusai pertandingan. “Kami menghadapi pasukan terbaik di area dunia, lalu tetap memperlihatkan mampu menunjukkan semangat juga energi yang digunakan luar biasa.”
Tak hanya sekali unggul tambahan dulu, Palace juga menunjukkan kedewasaan pada bertahan. Manchester City memang benar terus menekan juga bahkan mendapat hadiah penalti pasca Bernardo Silva dijatuhkan. Namun, Dean Henderson tampil sebagai tembok kokoh, mengecam eksekusi penalti yang dimaksud justru diambil oleh Omar Marmoush, tidak Erling Haaland.
Baca Juga: Crystal Palace Akhiri Penantian 119 Tahun, Juara Piala FA Usai Tundukkan Manchester City
Di sesi kedua, tekanan City semakin menjadi, namun Palace masih tak gentar. Henderson kembali menjadi penyelamat lewat sederet penyelamatan krusial. Ketika peluit panjang dibunyikan, suasana Wembley pecah pada suka cita para pendukung Palace yang digunakan menyaksikan sejarah ditulis secara langsung pada depan mata mereka.
Pelatih Manchester City, Pep Guardiola, pun mengakui keistimewaan pencapaian Palace. “Kami tak berhasil menang, tapi selamat untuk Crystal Palace. Mereka layak merayakan momen ini,” ujarnya.
Di balik sorotan kamera dan juga sorak sorai, kemenangan ini punya lapisan emosi yang tersebut di bagi Eze. Pemain kelahiran Greenwich ini pernah merasakan pahitnya ditolak oleh berbagai klub besar.
Arsenal—klub tempat ia menimba ilmu di dalam usia muda—membuangnya tanpa ampun. Pengalaman itu begitu membekas hingga Eze mengaku pernah menangis ketika menghadapi Arsenal beberapa bulan kemudian. “Saya tiada tahu cara menghadapinya. Air mata saya siap tumpah pada waktu itu,” kenangnya.
Tak semata-mata Arsenal, klub seperti Fulham, Reading, lalu Millwall juga melepasnya. Namun, nasib mulai berubah ketika QPR memberinya kesempatan. Di klub Championship itu, Eze berprogres menjadi pemain andalan. Puncaknya, musim 2019/2020 ia mencetak 14 gol pada 46 pertandingan—membuka jalan ke Premier League dengan Crystal Palace.
Bersama Palace, Eze tak secara langsung bersinar. Musim pertama penuh adaptasi, namun sejak 2022/2023 ia menjelma menjadi motor serangan. Gol demi gol beliau sumbangkan, termasuk 10 gol pada Premier League pada musim 2022/2023.
Musim 2024/2025 adalah kulminasi perjuangannya. Dari pemain muda yang tersebut terbuang, Eze saat ini menjadi ikon sejarah Crystal Palace. Meski demikian, ia tak pernah menyimpan dendam pada masa lalunya.
“Saya tidak ada pernah berkata bahwa merek (Arsenal, Fulham) seharusnya tak melepas saya. Itu kebijakan mereka itu serta saya menghormatinya,” kata Eze, dengan kedewasaan yang digunakan menyentuh hati.